Penjual kerajinan dan alat-alat rumah tangga
di Lopait, Semarang, sangat beragam. Mulai dari usia muda hingga orang
yang sudah memasuki usia senja. Bersama-sama, mereka menjadikan usaha
dagang di sentra ini sebagai gantungan hidup hingga usia senja. Tak ada
persaingan harga membuat mereka akrab dengan tetangga.
Modal yang
mungil serta mudahnya memulai usaha dagang kerajinan dan alat-alat
rumah tangga di Lopait membuat banyak orang berminat menggeluti usaha
ini. Banyak pedagang di sentra ini punya hubungan kekerabatan yang
dekat.
Salah satunya adalah Siti Asnah. Dari sembilan anak
perempuan yang berusia 60 tahun ini, tiga diantara mereka juga membuka
usaha dagang kerajinan dan alat rumah tangga di sentra Lopait. "Awalnya
saya hanya coba-coba. Karena prospek usaha ini bagus, saya ajak
anak-anak ikut," ujar Asnah, begitu ia biasa disapa.
Asnah
berharap, usaha ini dapat menjadi gantungan hidupnya kelak. Baginya,
usaha yang saat ini digelutinya merupakan investasi untuk masa tuanya
kelak.
Selain Asnah, Suminah yang kini menginjak usia 70 tahun
mengaku kalau berdagang alat-alat rumah tangga adalah untuk mengisi
masa tuanya.
Ia tak kuat lagi bila harus bekerja di sawah.
"Kalau di sini, nggak pakai tenaga," ujarnya. Bila tak ada pembeli, ia
berharap esok akan ada. Baginya, rezeki sudah menjadi suratan yang
Kuasa. Mereka juga menerima rezeki itu dengan iklas. Toh bagi Suminah
maupun Asnah, bekerja adalah ibadah.
Menggunakan rumahnya untuk
berdagang, Asnah mengeluarkan dana kurang lebih Rp 2 juta saat mengawali
usaha. Dana sebesar itu untuk membuat kios dengan dinding bambu serta
atap seng. "Saya pakai duit sendiri. Kalau utang, takut tidak bisa
bayar," ujarnya.
Bila Asnah hanya mengeluarkan dana dari
kantongnya sendiri, pedagang alat rumah tangga lainnya, yakni Ngateni
mengaku harus berutang kala mengawali usaha. Utang untuk membangun lapak
ukuran 3X4 meter di Jalan Fatmawati, Lopait, Semarang. "Kalau tak
utang, saya tak bisa mulai usaha," ujar Ngateni.
Dari berdagang
alat-alat rumah tangga, para penjual di Lopait mengaku mendapat untung
Rp 5.000 hingga Rp 10.000 dari harga jual produknya. Misalnya, kendi
dari tanah liat yang oleh pemasok dijual Rp 20.000, oleh pedagang Lopait
dijual Rp 30.000 ke konsumen. Tudung saji seharga Rp 45.000 dari
pemasok dijual Rp 50.000. "Kalau terlalu mahal, takut nggak laku," ujar
Asnah.
Barang yang tak laku menjadi risiko bagi penjual karena
tak bisa lagi ditukar atau dikembalikan ke pemasok. Makanya, jika
kondisi barang gerabah sudah jelek, penjual mengambil risiko memangkas
harga.
Menurut mereka, berjualan di pinggir jalan memang berbeda
dengan di pasar. Saban hari, pasar selalu ramai oleh pengunjung.
Sementara kalau berjualan di jalan, "Kami hanya berharap orang lewat
yang tertarik, mereka akan berhenti dan dan membeli barang," ujar
Ngatini. Bila tidak, mereka akan berlalu begitu saja.
Kenikmatan
yang mereka peroleh dengan berjualan di sentra ini adalah hubungan
kekerabatan yang lekat antarsatu pedagang dengan yang lainnya. Makanya,
tak ada perbedaan harga yang signifikan satu dengan yang lainnya.
Kalaupun ada pedagang yang mengambil margin keuntungan dan laku,
pedagang lain menganggap kalau itu sudah rezekinya. "Kami juga saling
bantu dalam stok. Kalau tak punya stok dan ada pembeli yang mau, bisa
ambil dari tetangga," ujar Ngateni.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !